Ada yang punya sifat seperti ini. Padahal ini adalah sifat terlarang, merasa senang akan musibah yang menimpa seorang muslim.
Antara muslim satu dan lainnya itu bersaudara. Tak pantas sifat itu ada antara sesama orang beriman. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat: 10). Yang namanya saudara berarti haruslah saling menjalin hubungan, menyayangi dan saling mengunjungi. Jadi bukanlah senang ketika saudara lain mendapatkan musibah.
Allah Ta’ala berfirman pula,
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آَمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An Nur: 19). Ayat ini berisi adab bagi yang mendengar berita jelek, maka hendaklah yang ia tangkap dibenaknya jangan ia sebarkan dan siarkan dengan mudah. Dalam ayat, perbuatan tersebut terlarang dan akan mendapatkan siksa di dunia dan akhirat.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membawakan ayat di atas untuk menunjukkan terlarangnya menampakkan kebahagiaan ketika seorang muslim mendapatkan musibah. Pendalilannya dari ayat adalah jika seseorang menyebar berita jelek yang dilakukan orang mukmin yang terjerumus dalam dosa mendapatkan ancaman kerugian di dunia dan akhirat, apalagi jika seseorang menampakkan rasa gembira atas musibah muslim lain tanpa sebab apa-apa.
Hal ini didukung dengan hadits namun sayangnya dha’if. Dari Watsilah bin Al Asqa’, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ
“Janganlah engkau menampakkan kegembiraan karena musibah yang menimpa saudaramu. Karena jika demikian, Allah akan merahmatinya dan malah memberimu musibah.” (HR. Tirmidzi no. 2506. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Hadits ini dinyatakan dha’if pula oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy)
Namun hadits secara umum menyatakan bahwa kehormatan sesama muslim tak boleh diinjak. Bentuknya di sini adalah jika saudara kita ada yang menderita terkena musibah, janganlah kita menampakkan rasa gembira karena hal itu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Seseorang dicap jelek jika ia merendahkan saudara muslim yang lain. Sesama muslim itu haram darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Jika seseorang menjelekkan muslim yang lain, bisa jadi yang dijelekkan itu dirahmati oleh Allah. Kemudian malah orang yang menjelekkan yang terkena musibah. Seperti ini banyak terjadi.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 6: 263).
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaliy berkata, “Musibah yang menimpa hamba, boleh jadi sebagai hukuman dan ujian. Hal itu bisa jadi sebagai penebus dosa dan mengangkat derajat. Sehingga jika ada yang gembira atas musibah orang lain, maka tidaklah layak. Karena manusia bisa saja berbuat dosa dan salah. Lantas ia mendapatkan musibah lantaran kesalahannya tersebut. Siapa yang menjamin dirinya sendiri bisa selamat dari dosa?!” (Bahjatun Nazhirin, 3: 90).
Hanya Allah yang memberi taufik untuk berakhlak yang mulia.
Referensi:
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, terbitan Darul Wathon, cetakan kedua, tahun 1427 H.
—
Selesai disusun di Panggang, Gunugkidul @ Darush Sholihin, 25 Jumadal Ula 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com